Orang-orang Indo, mereka yang punya garis darah dari (orang) Eropa, juga punya peran penting dalam perjuangan kemerdekaan.

Punya wajah Indo nan rupawan pada masa kini jelas keberuntungan besar, tetapi tidak di zaman kolonial. Jika keadaan yang paling sial ialah jadi pribumi jelata dan yang paling beruntung adalah menjadi Eropa totok, orang-orang Indo atau campuran bisa dibilang separuh beruntung. Namun, anggapan itu hanya benar sampai taraf tertentu. Orang-orang Indo punya deritanya sendiri: di kalangan pribumi, mereka tak diterima; dan di kalangan Eropa totok, mereka ditolak. Kaum Indo muncul di Indonesia karena keterbatasan jumlah perempuan Eropa di Hindia Belanda. Banyak orang Belanda (dan Eropa pada umumnya) yang menetap di negeri ini akhirnya mengawini atau mempergundik perempuan pribumi, sekadar buat menghangatkan ranjang. Perempuan-perempuan itulah yang lazim disebut “nyai”. Dari sinilah lahir para Indo.

Menurut PW van der Veur dalam The Lion and the Gadfly Dutch Colonialism and the Spirit of E.F.E. Douwes Dekker (2006), meski kerap dipandang rendah oleh kaum Eropa totok, orang-orang Indo memiliki hak, keistimewaan, dan kewajiban yang sama dengan kaum totok apabila ayahnya mengakuinya sebagai orang Eropa.

Cucu Multatuli Memerdekakan Nusantara

Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Batas-batas Pembaratan (1996) menyatakan bahwa kesadaran politik kelompok Indo patut mendapat perhatian. “Tanda pertama adalah pembentukan Indische Bond pada tahun 1898, yakni sebuah perkumpulan politik yang bertujuan sekadar menolong; namun arah kesadaran politik akan semakin jelas,” tulisnya.

Dalam sejarah Indonesia, nama Ernest François Eugène Douwes Dekker—belakangan dikenal sebagai Danudirdja Setiabudi—tentu tak asing. Ia adalah cucu-keponakan Eduard Douwes Dekker alias Multatuli yang menulis novel penggugat tanam paksa, Max Havelaar (1860). Selamat dalam Perang Boer di Afrika Selatan, pada 1905 Ernest Douwes Dekker kembali ke Hindia Belanda. Ia bekerja di Bataviasche Nieuwsblad, yang tergolong surat kabar progresif pada masa itu, dan mulai membangun jaringan aktivisme. Douwes Dekker berkawan baik dengan para pelajar STOVIA macam Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, dan Soewarno. Dan tentu dari lingkaran pergaulan itu pulalah ia mengenal dokter Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat, yang kelak bersamanya dicatat sejarah Indonesia sebagai “Tiga Serangkai.”

Menurut Tashadi dalam Dr D.D. Setiabudi (1982), rumah Douwes Dekker di Jalan Kramat, yang tak jauh dari kampus STOVIA, menjadi tempat nongkrong, perpustakaan, dan ruang baca andalan para pelajar tersebut. Penasihat kolonial urusan pribumi GAJ Hazeu, dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Idenburg pada 28 Januari 1910, mengatakan bahwa pengaruh tulisan Douwes Dekker tidaklah seberapa, tetapi hubungan pribadinya dengan para murid STOVIA luar biasa. Mereka, kata Hazeu, bahkan tak sungkan-sungkan menjulukinya sebagai “Kawan Orang Jawa Nomor Satu”. Douwes Dekker hadir dalam kongres pertama Boedi Oetomo yang didirikan para mahasiswa STOVIA itu pada 20 Mei 1908 Douwes Dekker kemudian keluar dari Bataviasche Nieuwsblad karena berselisih paham dengan pemimpin redaksinya yang bernama belakang Zaalberg. Ia pindah ke Bandung dan mendirikan koran De Express. Pada 25 Desember 1912, Douwes Dekker, Tjipto, dan Soewardi mendirikan Indische Partij (IP), dan De Express menjadi corong partai tersebut.

Dibandingkan Boedi Oetomo, keanggotaaan IP lebih terbuka. Partai itu tak hanya menampung bumiputera, tetapi bahkan pada mulanya memang ditujukan bagi kaum Indo Eropa, sebagaimana Douwes Dekker sendiri. Mayoritas anggota IP adalah peranakan Eropa, terbanyak adalah keturunan orang Belanda. Mereka, orang-orang Indo yang bergabung dalam IP, percaya bahwa masa depannya berada di Hindia Belanda. Tanah kelahiran ini, bagi mereka, adalah sandaran bagi kesetiaan di masa depan, dan bukan lagi tanah Eropa tempat leluhur mereka berasal.

Menurut Margono Djojohadikoesoemo, Douwes Dekker adalah salah seorang Indo yang menentang penggunaan istilah “Inlander” bagi pribumi. Dalam sebuah pidato, ia mempertanyakan hukum kolonial yang diskriminatif terhadap kaum pribumi: “Mengapa menurut undang-undang itu saya dimasukkan dalam golongan Eropa, hanya karena saya bernama Douwes Dekker? Tetapi saya dilahirkan di sini, mendapat sesuap nasi di sini, dan juga tidak ada yang lebih saya senangi selain dikubur di sini, di bawah pohon palem,” ujar Douwes Dekker, sebagaimana dikutip Margono dalam E.F.E. Douwes Dekker (Dr Danoedirdja Setiaboedi) (1975).

Setelah artikel “Als ik een Nederlander was” (“Seandainya aku seorang Belanda”) karangan Soewardi yang diterbitkan De Express pada 13 Juni 1913 membikin Hindia Belanda gonjang-ganjing, Soewardi diasingkan ke Belanda. Douwes Dekker dan Tjipto mendukung Soewardi, mereka pun ikut diasingkan. Namun, Douwes Dekker tak berangkat sambil memunggungi Hindia Belanda. Douwes Dekker pergi tetapi suaranya masih bergema: “Sekarang akhirnya kita merasakan bahwa kita tidak saling lawan; kita, bangsa Hindia, tidak juga bersebelahan satu sama lain, melainkan bersatu.

Dengan terkejut kita menyadari apa yang terjadi: urusan mereka adalah urusan kita. Penderitaan mereka adalah penderitaan kita. Serentak segalanya menjadi begitu tajam dan jelas bagi kita: Kita bersaudara: kita adalah satu,” tulisnya dalam “Onze helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en R.M. Soewardi Soerjaningrat” di surat kabar De Express, 5 Agustus 1913.

Kembali dari pengasingan, Douwes Dekker mendirikan Ksatrian Instituut di Bandung dan menjadi pendidik. Di sekolah itu ada seorang guru bernama Johanna Petronella Mossel, wanita Indo Belanda keturunan Yahudi. Johanna mengajar sejak 1925. Meski berselisih umur seperempat abad, Johanna dan Douwess Dekker saling jatuh cinta dan menikah pada 22 September 1926. Pernikahan itu kandas pada 1941 ketika Douwes Dekker diasingkan lagi oleh pemerintah Hindia Belanda, kali itu ke Suriname. Menurut Tashadi, Johanna kemudian menikah dengan Djafar Kartodirdjo, sesama guru di Ksatrian Instituut.

Indo Manja vs Indo Nasionalis Tokoh lain yang berdarah Eropa dan termasyhur sebagai pejuang kemerdekaan ialah Mohammad Husni Thamrin. Thamrin adalah anggota Gemeenteraad Batavia, kemudian menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat). Ayahnya, Thamrin Mohammad Thabrie, adalah anak seorang Inggris yang menjadi pengusaha hotel. Darah Eropa di tubuh Thamrin relatif jarang disebutkan. Menurut Bob Hering, ayah Thamrin, yaitu Thabrie, menjadi yatim setelah ayahnya meninggal. Thabrie lalu diasuh oleh paman dari ibunya. Meski ia penggede, Thamrin peduli terhadap warga kampung-kampung kumuh Jakarta era kolonial.

Pada dekade 1930-an, ia terlibat dalam penghapusan aturan Poenal Sanctie yang menindas kuli miskin dan ordonansi sekolah liar yang merugikan sekolah-sekolah yang berkaitan dengan pergerakan nasional Indonesia. Semasa kolonial, Thamrin dianggap musuh besar oleh kelompok Indo Europeesch Verbond (IEV). Organisasi yang didirikan Karel Zaalberg ini adalah penerus Indische Bond. “Bagian terbesar kelompok ini, pada tahun 1919, mendirikan Indo Europeesch Verbond (IEV) yang bertujuan sangat moderat, yakni mempertahankan kepentingan kelompok, dalam kesetiaan kepada Pemerintah Belanda; perkumpulan ini memiliki 13.000 anggota terdaftar pada 1931,” tulis Denys Lombard.

Kepada pemerintah kolonial, IEV menuntut hak pensiun berupa tanah dan uang. Kepentingan ekonomi yang disuarakan IEV didukung banyak orang Indo. Namun, kepedulian yang terbatas untuk kaum sendiri itu bukanlah yang terburuk dari mereka. Mereka juga kerap berlaku rasis kepada kaum pribumi, yang mereka anggap lebih hina.

“[Mereka] agaknya menginginkan semua hak istimewa berada di pihak bapaknya, konstitusi untuk mereka, peran ekonomi dan hak istimewa rasial lainnya,” kata Husni Thamrin suatu kali. Menurut Thamrin, sebagian besar kaum Indo manja. Sedikit-sedikit, mereka merasa kena desak oleh golongan pribumi. Pada 1931, lewat lobi-lobi tokoh Indo, Dick de Hoog, di Volksraad, mereka bahkan berhasil mendirikan Komisi Spit yang bertujuan memberi dan memperluas hak tanah untuk golongan Indo. Mereka menganggap diri paling menderita dan teraniaya. Padahal, saat itu Hindia Belanda memang sedang dilanda masa sulit pasca depresi ekonomi 1929, yang dikenal luas sebagai “Zaman Meleset”.

Situasi itu membuat banyak perusahaan memotong anggaran operasional, termasuk gaji pegawai. Sebelumnya, gaji orang-orang Eropa, termasuk Indo yang telah diakui keeropaannya, yang tertinggi dari semua kelompok masyarakat berbasis politik rasialis kolonial. Namun, pada “Zaman Meleset”, menurut Frances Gouda dalam Dutch Cultures Overseas: Praktik Kolonial Di Hindia Belanda (2007), perusahaan-perusahaan itu menggaji para pegawai Indo setara dengan pribumi kerah putih. Berbeda dari golongan “Indo Manja”, Thamrin tak hanya memikirkan diri sendiri. Thamrin, menurut Alwi Shihab dalam Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006), tak cuma mengurusi soal-soal besar seperti peraturan pemerintah. Ia bahkan memperjuangkan keriaan orang banyak dengan mengongkosi pembangunan lapangan sepakbola di Petojo pada April 1930. Lapangan itu kemudian digunakan oleh Voetbalbond Indonesish Jakarta (VIJ) yang berdiri sejak 1928. Di kemudian hari, VIJ malih rupa menjadi Persatuan Sepakbola Indonesia Jakarta alias Persija.

(tirto.id – Indepth)

Reporter: Petrik Matanasi

Penulis: Petrik Matanasi

Editor: Zen RS

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here