Pemilihan kepala daerah [ pilkada ] di Banyuwangi dan wailayah – wilayah lain di negeri ini akan terus berjalan menuju ke titik peristiwanya, yakni pada 9 Desember 2020, nanti.
Dan, para petarung yang akan bertarung di gelanggang coblosan bupati nanti sudah jelas dan terang benderang profil dan sosoknya. Jutaan rakyat di Banyuwangi sudah sangat paham siapa para kandidat itu. Dari mana mereka berasal. Sudah terbaca gender mereka. Seperti apa dan sejauh mana kompetensi dan kualitas kerakyatan mereka.
Bahkan, jutaan rakyat di kabupaten ini pun sudah paham seberapa pundi – pundi financial mereka demi ongkos demokrasi ‘perebutan’ pemimpin selevel bupati. Rakyat juga sangat mengerti bahwa tariff atau bandrol untuk memenangi dan kemudian menduduki kursi di pendopo itu benar – benar high cost, berbiaya tinggi. Bukankah sesungguhnya bahwa realitas biaya operasional pesta demokrasi di negeri ini sangat mencekik leher?
Rakyat juga sudah sangat paham pesta demokrasi adalah peristiwa menang dan kalah atas hasil pertarungan di atas ring nanti. Jika tidak berhasil menang pasti tumbang menjadi pecundang.
Jutaan rakyat di Banyuwangi tidak sangat mementingkan siapa nanti yang bakal memenangi dan berhasil menggendong kursi bupati. Terserah dengan modus dan cara apa untuk bisa menjadi bupati.
Rakyat di kabupaten ini sudah sangat mafhum dan paham bahwa pertarungan politik itu tidak mengenal rumus teman dan lawan abadi. Yang berlaku hanya kepentingan sesaat dan nafsu abadi. Politik adalah lapangan luas dan bebas sebagai arena pertarungan, gulat bebas, penjegalan, penikaman, dan bahkan bisa beujung pada pembantaian.
Dalam konteks pilkada di Banyuwangi, jutaan rakyat berharap dan kepingin agar siapa pun bupatinya nanti untuk tidak menjegal, membantai, dan menikam rakyatnya.
Silakan para kandidat pilkada Banyuwangi itu kini berupaya saling jegal menjegal. Bukankah lebih baik menjegal lebih dulu dari pada terjegal kemudian?