Amerika Serikat kembali memojokkan Presiden Tiongkok Xi Jinping dengan melontarkan berbagai isu. Sebuah publikasi dari AS menuduh Xi Jinping menggunakan teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) untuk membangun kontrol totaliter negaranya.
“Sistem kontrol sosial digital tersebut dapat melacak semua, dipatroli oleh algoritma precog yang dapat mengidentifikasi pembangkang potensial secara real-time,” kata artikel tersebut seperti dilansir dari Times Now News, Jumat (4/9).
Tiongkok disebut telah memasang ratusan juta kamera. Pemerintah Tiongkok disebut sangat berharap dapat segera mencapai liputan video penuh dari publik negaranya.
“Pada waktunya, algoritma akan dapat merangkai poin data dari berbagai sumber, catatan perjalanan, teman dan kolega, kebiasaan membaca, pembelian untuk memprediksi perlawanan politik,” kata penulis artikel Ross Andersen.
Para ahli percaya bahwa ambisi Xi adalah untuk mencapai supremasi AI pada 2030. Tiongkok telah mengadopsi langkah-langkah pengawasan di masa lalu. Menjelang Olimpiade musim panas 2008 lalu di Beijing, layanan keamanan Tiongkok mencapai tingkat kontrol baru atas internet negara itu.
Selama wabah Covid-19, pemerintah Xi bergantung pada perusahaan swasta yang memiliki data pribadi yang sensitif. “Setiap pengaturan pembagian data darurat dibuat secara tertutup selama krisis,” ungkap publikasi itu.
Selain itu, warga Tiongkok tampaknya menjadi sasaran penilaian risiko selama tahap awal pandemi virus Korona. Setiap individu diberi kode warna hijau, kuning dan merah berdasarkan algoritma yang menentukan kemampuan mereka untuk transit. Dengan AI, Xi disebut dapat membangun aparat otoriter paling menindas dalam sejarah.
“Di startup AI paling terkemuka di Tiongkok yaitu SenseTime, CloudWalk, Megvii, Hikvision, iFlytek, Meiya Pico, Xi telah menemukan mitra komersial yang bersedia,” tulis Andersen dalam artikelnya.