Reni tak habis pikir. Semalam tak ada yang mendengar keributan atau suara mencurigakan apapun dari balik pagar besi hitam rumah tetangganya itu.

Lantas apa yang terjadi di dalam sana?

Ia bersama belasan warga lainnya berkumpul tak jauh dari Suzuki APV berwarna jingga menyala milik Tim INAFIS Polres Surabaya. Tadi ada beberapa petugas berbaju hazmat putih keluar dari mobil itu dan masuk ke dalam rumah di Lidah Kulon, Lakarsantri Surabaya.

Di balik dinding rumah bercat krem itu, seorang petugas forensik masuk ke salah satu kamar tidur. Sebuah kasur berseprai cerah tanpa ranjang menyambutnya di sana. Perhatiannya langsung tertuju ke arah kardus lemari es setinggi pundak orang dewasa di sudut kamar.

Pukul sembilan pagi tadi laporan masuk ke kepoisian. Ada mayat penuh darah di dalam kardus itu, begitu laporan yang mereka terima.

Jasad itu dikeluarkan dari kardus dan diperiksa bersama penyelidik yang matanya menatap lekat dari balikface shield antivirus korona.

Seorang perempuan dengan empat luka di leher, tepat di bawah telinga. Ada juga luka di jari tangan kiri yang menunjukkan korban mencoba melawan orang yang melukainya.

“Korban tewas karena dibunuh menggunakan senjata tajam. Ditemukan sayatan senjata tajam di leher korban yang mengeluarkan darah,” kata Kapolsek Lakarsantri Komisaris Palma F Pahlevi.

Tapi ada temuan yang ganjil: telapak kaki kanan menghitam dan ada luka bakar. Apa yang sebenarnya terjadi?

*****

Tengah malam sudah lewat. Steni makin cemas karena kekasihnya, Monik, belum juga bisa dikontak. Pukul sebelas malam tadi ada nada sambung, tapi kini ponselnya tak aktif lagi.

Tak mau menunggu hari berganti, ia mendatangi alamat yang sempat disebut Monik sore tadi.

Jam sudah menunjukkan pukul satu pagi saat Steni tiba di rumah yang dituju dan mengetuk pintu. Pemuda itu menggelengkan kepala saat ditanya soal Monik. “Sudah pergi tadi, ada yang jemput naik motor,” katanya.

Lama menunggu, kabar soal Monik baru tiba ketika matahari sudah mulai tinggi. Steni diberi tahu agar segera datang ke rumah orangtua Monik di bilangan Wonokromo, Surabaya.

Monik sebenarnya sudah lama tak tinggal di rumah itu. Ia memilih kost dan sesekali saja datang ke sana. “Orangnya mandiri,” kata Mendi, adiknya. Tapi ia sendiri tak tahu apa pekerjaan kakak sulungnya di luar sana.

Steni sampai di Wonokromo lewat dari pukul sebelas pagi. Begitu ia tahu pacarnya ditemukan tewas penuh luka, tangisnya pecah. Berurai air mata, ia bersimpuh di kaki ibu Monik yang juga duduk lemas di atas tikar yang menutupi ruang depan rumah.

****

Keluarga Angga hanya tiga orang. Ibu, adiknya yang berumur sembilan tahun, dan ia sendiri yang kuliahnya menginjak semester dua jurusan teknik sipil. Ayahnya sudah berpulang.

Tinggal di rumah yang sudah dikontrak enam tahun lamanya itu, Angga sering ditinggal sendirian. Tapi tetangga tahu, kadang saat ibunya pergi, Angga kerap kedatangan tamu.

“Sering kok ajak teman temannya, kadang cewek, kadang cowok,” kata Nafsiah, tetangganya.

Hari itu, Selasa, 16 Juni 2020, yang datang adalah seorang perempuan. Sekitar pukul enam sore muncul wanita berkaus dan celana jins pendek yang ujungnya mencekik paha.

Jasa perempuan itu dipesannya dari akun Twitter yang menawarkan jasa terapis 24 jam. Semua terapisnya, kata akun itu adalah perempuan dengan tarif paling tinggi Rp 450 ribu buat pijat selama dua jam.

Pengelola akun menulis peringatan dengan seluruhnya huruf kapital, “PIJAT PANGGILAN SURABAYA TIDAK MELAYANI PIJAT PLUS PLUS.”

Apa betul begitu?

Satu jam setelah kedatangan, perempuan yang minta dipanggil Monik itu mulai memijatnya untuk 45 menit ke depan. Dengan tarif Rp950 ribu untuk satu setengah jam pijat. Membayar jauh di atas harga patokan, Angga tahu ia akan mendapatkan lebih dari itu karena ini bukan kali pertama buat dia.

Tapi malam ini ia akan segera kecewa.

Usai pijat, Monik memupuskan harapan Angga dan hanya memberikannya layanan pemuasan hasrat tapi bukan hubungan intim.

Tapi Angga akan segera kaget.

Usai melayani, Monik minta tambahan Rp 300 ribu. Angga enggan membayar tambahan.

Monik ngotot uang ekstra itu segera dibayar, suaranya makin keras. Angga segera membekap mulutnya, cemas didengar tetangga.

Angga terperanjat karena perempuan ini malah teriak. Diraihnya pisau lipat di meja, lantas diterjangkan ke leher Monik. Terus hingga ia tak lagi meronta.

Kini ia dihadapkan pada dilema setiap orang yang menghilangkan nyawa. Menyerahkan diri atau menghilangkan jejak kejahatan.

Terbetik di benaknya untuk membakar hingga jasad di depannya tersisa abu.

Diambilnya kompor portable, didekatkan ke kaki tubuh terapis itu. Tapi tak lama tekadnya padam seperti api di kompor yang dimatikannya lagi. Ia mendadak cemas akan seberapa besar apinya nanti, bagaimana nasib rumahnya?

Akhirnya yang tersisa hanya kebuntuan. Angga masukkan tubuh perempuan itu ke dalam kardus kulkas. Ia menelepon ibunya, menceritakan semuanya. Lalu pagi-pagi benar ia memesan taksi online dan pergi meninggalkan kota.

Dua perempuan ia tinggalkan di Surabaya. Monik yang sudah tak bernyawa. Seorang lagi tak lain adalah ibunya yang pagi itu menelpon polisi.

*****

“Saya panik. Ambil pisau lipat langsung menusuk leher korban itu. Saya takut kegerebek warga kalau dia teriak terus,” kata Angga.

Rabu sore, sehari setelah pembunuhan itu polisi menjemput Angga di rumah bibinya di Mojokerto. Hari itu juga ia menjadi tersangka.

Berdalih Monik yang menawarinya jasa plus-plus, Angga mengakui itu bukan pertama kalinya ia memanggil terapis ke rumah. “Sudah sekitar lima kali,” ujarnya.

Masih mahasiswa dan tanpa pendapatan, Angga menilap uang bayaran kuliah dari ibunya buat membayar jasa pijat. Termasuk Rp 900 ribu yang diberikan kepada Monik. Itulah sebabnya ia marah ketika Monik meminta tambahan Rp300 ribu.

Lantas mengapa ia ketagihan sampai menggelapkan uang kuliah? Kepala Unit Kejahatan dan Kekerasan Polres Surabaya Inspektur Satu Agung Kurnia Putra menyebut pangkalnya adalah fantasi yang muncul usai menonton video dewasa.

Tersangka, kata Iptu Agung, membayangkan memiliki wanita dewasa seperti Monik yang terpaut belasan tahun dari dia. “Fantasi saja. Tersangka memilih yang lebih tua usianya,” kata Agung.

#CrimeStory

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here