Mencermati banyak kejadian di era pandemi ini, jika merujuk pada kredo politik: “Bahwa politik praktis itu bukanlah hal yang tersurat melainkan apa yang tersirat”. Maknanya, bahwa apa yang terjadi di publik bukanlah hal yang sesungguhnya tengah berlangsung.
Jadi, apakah peristiwa yang terjadi itu sebuah deception? Boleh jadi. Atau cuma isu permulaan? Bisa juga. Atau, hanya test the water, memancing reaksi publik? Dapat juga seperti itu.
Setiap kejadian politik, pasti terdapat skema besarnya. Jika skema dalam politik praktis itu bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan, sedang skema dalam geopolitik intinya mengendalikan geoekonomi (menguasai pangan dan energi) melalui “pintu kekuasaan”. Control oil and you control nation, control food and you control the people (Henry Kissinger).
Ya. Ada dua narasi/skenario berjalan beriringan. Pertama, skenario berbasis skema politik. Ini skema lokal. Dan kedua, narasi berdasar geopolitik. Ini skema global.
Jika di era dulu, topik kajian berkisar masalah hukum dan politik, dengan retorika — apakah hukum bagian dari politik; atau sebaliknya, politik bagian dari hukum? Maka dahulu ada istilah politik sebagai panglima dan/atau hukum sebagai panglima. Tetapi itu bahasan tempo doeloe. Zaman old. Kenapa? Geopolitik zaman now mengajarkan bahwa power concept (penggunaan kekuatan) dalam dinamika geopolitik terdiri atas tiga hal, antara lain: “Power politik, power ekonomi dan power militer.” Inilah yang kini berjalan pada dinamika (geo) politik global dimana mengimbas ke lokal. Mau tidak mau. Karena politik lokal kerap kali bagian dari (geo) politik global.
Retorikanya, “Apakah ada power hukum dalam implementasi power concept di atas?”
Tak ada. Tetapi bukan tidak penting. Hakiki hukum adalah kesepakatan bersama. Nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali. Tidak ada perbuatan dapat dipidana kecuali atas aturan yang telah ada. Itu titik awal. Azas legalitas hukum.
Dalam power concept, Jepang misalnya, lebih cenderung memainkan power ekonomi di setiap kebijakannya meski akhir-akhir ini mulai membesarkan postur militer akibat pergeseran geopolitik ke Asia Pasifik cq Laut Cina Selatan. Cina pun demikian, ia kini juga menonjolkan aspek politik dan power militer selain power ekonomi yang telah berjalan terlebih dulu.
Kalau Amerika Serikat (AS) jelas. Ia mengimplementasi ketiga-tiganya secara simultan dengan intensitas berbeda. Tergantung situasi.
Tak boleh dielak, bahwa kerap kali politik lokal adalah bagian dari (geo) politik global sebagaimana sekilas di atas. Dengan kata lain, dinamika politik di suatu negara tidak lepas dari kontrol serta kendali para aktor global —entah aktor negara atau aktor non-negara— terutama terhadap negara-negara yang memiliki potensi sumberdaya (alam) energi yang besar.
Demikian pula apa yang terjadi di Indonesia kini. Sulit menafikan bila potret dinamika politik hari ini tidak terkait dengan gonjang-ganjing di tingkat global. Seperti pilpres di 2024, misalnya, ia merupakan pintu masuk utama bagi kepentingan asing. Pilpres 2024 adalah pintu gerbang hajatan guna menguasai dan mengendalikan geoekonomi Indonesia yang kaya raya.
Naiknya suhu politik dari waktu ke waktu menuju 2024 adalah isyarat atas kondisi tersebut.
Lagi-lagi, rakyat akan terbelah semakin dalam pada posisi “saling berhadapan” akibat sistem one man one vote (pilihan langsung) —pro ini, pro itu. Dan kegaduhan politik hari ini, bukanlah faktor tunggal yang berdiri sendiri, niscaya ada remote dari kejauhan para aktor global baik aktor negara maupun non-negara agar bangsa ini senantiasa gaduh dan gaduh di tataran hilir masalah bangsa sehingga abai terhadap apa yang sesungguhnya sedang terjadi.
Jadi, jangan lagi bicara politik sebagai panglima atau hukum sebagai panglima, karena ada yang lebih urgen daripada sekedar hal di atas, yakni keselamatan negara!
Terima kasih